Sepatu dan Kesenjangan Ekonomi


Ba’da Ashr, saya mencari sepatuku yang tadi  saya taruh di depan masjid. Tapi setelah saya cari, sepatuku tak kunjung ketemu. Saya mencoba mengingat-ingat, barangkali saya lupa letaknya. Tidak, saya telah memainkan rekaman ingatanku sebelum masuk masjid. Tidak ada keraguan, saya kehilangan sepatu yang baru genap sebulan kubeli itu. Sepatu pakaian dinas harianku hanya satu pasang. Allahumma ajirniy fii mushiibaty, wa akhlif Lii Khairan Minhaa” (SHahih Muslim)
(Wahai Allah Berilah saya pahala dari kehilangan ini dan gantikan untuk saya dengan yang lebih baik darinya” . Alhamdulillah, bentar lagi jam kerja berakhir, besok dan lusa libur. Jadi saya tidak terlalu khawatir untuk segera mencari penggantinya.

Saya berpikir, akan diapakan sepatu itu oleh pencuri? Padahal harganya tidak terlalu mahal. Kalau ia seorang Bapak, barangkali anaknya butuh biaya untuk beli buku. Jika pencurinya anak-anak, mungkin hasil penjualan sepatu itu untuk biaya berobat ibunya yang sedang sakit. Kalau itu alasannya, saya rela. Namun, akan lebih baik jika ia mau menemui saya dan menukar sepatu itu dengan harga barunya. Karena di tukang loak, sepatuku paling hanya dihargai setengah dari harga baru. Bukan masalah sepatunya. Tapi kasihan saja mereka yang mencontoh Robin Hood atau Jaka Tingkir yang mencuri untuk kebaikan. Berbuat baik hendaknya disertai cara yang benar, bukan membenarkan caranya.

Tapi memang, tindak kriminalitas khususnya yang ber’genre’ pencurian, perampasan, atau perampokan cenderung berada di atas saat bulan ramadhan sampai menjelang Hari Raya. Barangkali penjahat-penjahat itu mau berlebaran dengan hasil perbuatan tersebut karena memang tidak memiliki uang. Sungguh disayangkan. Barangkali ini ada kaitannya dengan angka koefisien gini yang menunjukkan kesenjangan sosial di Indonesia masih lebar.

Koefisien Gini adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan agregat (secara keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna). Kita tentu miris ketika media menyiarkan pembagian zakat disertai kerusuhan. Adu mulut dan baku bantam kadang tak terelakkan. Lalu orang-orang saling menyalahkan. Ini salahnya pemberi zakat yang kurang profesional, ini salah pemerintah yang tidak peduli. Maka orang yang suka menyalahkan seperti itu hendaknya ditanyai, “Apakah Anda sudah membayar zakat?”

Zakat dalam makro ekonomi mempunyai kedudukan unik dan penting. Jika dalam sudut pandang teori ekonomi konvensional, tingkat kesejahteraan masyarakat bisa ditingkatkan dengan menaikkan laju pertumbuhan ekonomi. Pertambahan jumlah produksi barang dan jasa diharapkan mampu menyerap tenaga kerja. Kemudian tenaga kerja ini memiliki penghasilan untuk berbelanja. Meski demikian, tidak semua penghasilan dibelanjakan. Mereka tentu memiliki tabungan. Meski hal ini positif, ada masalah lain yang timbul. Ada sekelompok masyarakat sedikit penghasilannya, bahkan tidak memiliki penghasilan sama sekali. Akhirnya mereka tidak dapat berpartisipasi dalam memutar roda ekonomi.

Meski pertumbuhan ekonomi tinggi, bukan berarti kesejahteraan merata. Naiknya laju pertumbuhan barang dan jasa, tak selalu dinikmati oleh semua orang. Laju pertumbuhan ekonomi kadang atau bahkan seringkali dinikmati oleh segelintir orang. Sebab lain adalah pertumbuhan industri yang bersifat padat modal bukan padat karya, jadi pengangguran tidak terserap optimal. Teori supply makes demand terbukti menimbulkan great depression di amerika serikat era 1930-an. Akibatnya banyak perusahaan rugi karena produknya tak laku. Akibat terburuknya adalah pengangguran meningkat.

Barang-barang yang tidak laku tersebut mubazir. Padahal para dhuafa banyak yang membutuhkannya. Apa daya mereka tidak memiliki uang untuk mendapatkannya. Itulah mengapa zakat mal memiliki kedudukan yang unik dan penting. Tarif zakat 2,5 persen per tahun saya yakin adalah angka yang pas, tidak terlalu berat bagi pembayar zakat dan tidak terlalu sedikit bagi penerima zakat. Zakat yang diserahkan secara tunai tersebut membuat para dhuafa dan mustahiq yang lain (8 asnaf) dapat meningkatkan purchasing power (daya beli) untuk menggerakkan perekonomian agar lebih merata dan berkesinambungan.

Leave a comment