Mengapa Anak STAN Menulis?


Quantcast

Mahasiswa STAN dalam perannya sebagai mahasiswa kampus plat merah memiliki social responsibilities yang jauh lebih besar dibanding mahasiswa kampus lain di Indonesia.  Bekerja sebagai seorang birokrat, secara tidak langsung, menuntut mahasiswa STAN mampu berperan sebagai unsur pembaruan di dalam masyarakat.  Birokrat harus memiliki sumber ide baru, memiliki kemampuan mendesain strategi usaha berencana, memiliki kreativitas dan inovasi dalam melihat kebutuhan masyarakat yang semakin berkembang, sehingga birokrasi selalu survive dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang selalu berubah.  (Lijak Poltak Sinambela : 2006)

Menulis, sebagai salah satu wujud social responsibilities mahasiswa STAN kepada masyarakat, ternyata memiliki beberapa nilai kemanfaatan bagi manusia.  Menurut The Liang Gie (1983) dalam SR. S. Tartono, sedikitnya ada enam buah nilai yang kita peroleh ketika menulis, yaitu  :

.

Pertama, Nilai Kecerdasan (intellectual value)

Dengan sering menulis orang terbiasa berolah pikir  :  mencari ide baru, menganalisis kasus, merancang urutan pemikiran yang logis untuk dituangkan dalam tulisan, menimbang-nimbang kata (sinonim, antonim, diksi, dll.) yang tepat agar diperoleh kalimat yang jernih.  Kegiatan ini akan membuat kemampuan pikir orang bertambah, daya khayalnya berkembang, serta kecerdasannya meningkat/

.

Kedua, Nilai Pendidikan (educational value)

Dengan terus menerus menulis, kendati tidak disadari, orang mendidik diri sendiri.  Itu terjadi karena tatkala menulis di “dipaksa” untuk membuka kamus, membaca ensiklopedi, mencari buku atau tulisan sebagai baha rujukan, mengingat-ingat kembali untuk memunculkan segala hal yang pernah terekam atau dipelajari sebelumnya, dan sebagainya.

Baginya berlaku semboyan  :  belajr itu tidak mengenal waktu dan usia.  On going formation.  Kecuali itu, bagi penulis pemula, yang hampir bisa dipastikan, harus menulis berkali-kali agar karyanya bisa lolos dipacak di media massa, secara tidak langsung dia melatih diri menjadi sabar, ulet, dan tekun.  Nah, bukankah semua ini wujud sebuah pembelajaran atau pendidikan?

.

Ketiga, Nilai Kejiwaan (psichological value)

Manakala karya tulis seseorang berhasil menembus “blokade” redaktur, dan lolos dipacak di media massa, apalagi media massa yang besar atau terkenal, dia pasti merasa puas, gembira, dan bangga.  Pada gilirannya dia menjadi lebih percaya diri.  Dia akan menjadi lebih bergairah untuk terus menulis dan berkarya, dan semakin maju.  Semua ini adalah nilai-nilai kejiwaan yang mahal harganya.

.

Keempat, Nilai Sosial (social value)

Seorang penulis yang telah berhasil menenggerkan karya tulisanya di media massa, baik lokal-terlebih nasional, namanya akan semakin dikenal banyak orang, terutama kalangan penerbit, toko buku, atau komunitas pembaca media massa bersangkutan.  Dia semakin dihargai.  Penghargaan itu bisa berujud surat-surat dari sidang pembaca yang merasa mendapat manfaat dari tulisan-tulisannya, atau tidak mustahil, dari institusi tertentu, semisal anugerah “Adinegoro”.

.

Kelima, Nilai Keuangan atau Material (financial value)

Untuk sebuah kerja keras yang dilakukannya seseorang pantas mendapatkan imbalan.  Demikian halnya bagi seorang penulis yang berhasil menulis di media massa.  Dia mendapat imbalan dari pihak yang menerbitkan karyanya.  Nilai rupiah atau royalti atau honornya bervariasi.  Umumnya, semakin berbobot tulisannya semakin besar pula honornya.  Demikian pula, semakin besar media massa tempat tulisan itu diterbitkan, semain besar honor yang diperoleh penulis.  Di negara-negara maju, honor yang diterima penulis umumnya lebih besar dibandingkan dengan penulis di negara berkembang atau kurang maju, sebab disana lebih banyak orang yang mau membaca dan mampu membeli bacaan.  Bagi mereka bacaan sudah menjadi kebutuhan hidup, sejajar dengan sandang-pangan dan papan.  Maka tidak mengherankan kalau di negara maju penulis, selain mendapat apresiasi yang tinggi di mata masyarakat, juga rata-rata berpenghasilan tinggi pula.

.

Keenam, Nilai Filosofis (philosophical value)

Salah satu fenomena yang tidak henti-hentinya menjadi bahan kajian pikir para arif-bijaksana sejak dahulu adalah hal keabadian.  Dari kajian dan analisis filosofis mereka sampai pada kesimpulan bahawa jasad orang cerdik-cendekia-arif-bijaksana itu bersifat temporer-tidak kekal, sedang buah-buah pikiran mereka yang diabadikan dalam karya tulis bersifat kekal-abadi.  Scripta manent verba volent, apa yang tertulis tetap ada, apa yang diucapkan menguap.  (blog.akusukamenulis)

4 Comments (+add yours?)

  1. rizal
    Aug 20, 2010 @ 00:41:48

    nice post… Ayo yang lain ditunggu postingannya.. (*aku jg belum posting padahal)

    Reply

  2. dinoyudha
    Aug 20, 2010 @ 01:02:04

    Karena menulis adalah investasi..

    Reply

Leave a reply to rizal Cancel reply