Kerancuan Berbahasa

Oleh  :  Nurfita Kusuma Dewi

     Orang sering tidak paham tentang kesaktian yang terkandung dalam bahasa.  Bahasa mencerminkan mentalitas, pemikiran, kecenderungan pribadi, kekayaan pengalaman, dan kepekaan sosial penutur.  Ketika seorang penutur memiliki pikiran yang kacau, maka bahasa yang diucapkan pun akan kacau.  Sama halnya ketika penutur tidak mampu menghayati makna kata, maka rasa bahasa yang lahir pun ikut kacau.

Menurut catatan sejarah, suatu bangsa menjadi unggul dari bangsa lain karena kemampuan berbahasa yang dimilikinya.  Republik ini pun bisa merdeka dan diakui dunia internasional bukan hanya perkara bedhil (senapan), melainkan karena pemikiran dan bahasa yang digunakan oleh Soekarno-Hatta dalam diplomasi.  Andai saja Sutan Sjahrir yang dikirim untuk membela rakyat Indonesia di depan Dewan Keamanan PBB memiliki pemikiran dan kemampuan berbahasa yang kacau, apakah republik ini akan tetap terbentuk? More

Tradisi Menulis di Kalangan Mahasiswa

Segenap Panitia Confess 2011 mengucapkan selamat kepada Saudari
Nurfita Kusuma Dewi Juara 1 Lomba Blog Nasional Depkominfo BEM STAN
Semoga dapat menambah motivasi untuk terus menulis dan berkarya..
Terima kasih

Menkominfo BEM STAN

.

Oleh  :  Nurfita Kusuma Dewi

Di era perkembangan dunia tulis menulis yang menggeliat pasca era reformasi, peran mahasiswa sejatinya dituntut untuk tampil sebagai subjek dalam dunia literasi.  Kenyataan bahwa tidak sedikit koran yang secara khusus menyediakan rubrik untuk tulisan mahasiswa adalah bukti bahwa ruang penegasan ide, pemikiran, kegundahan, dan idealisme kini terbuka lebar. More

Bercermin pada Mental “Gambaru” Jepang

 

Oleh  :  Nurfita Kusuma Dewi

 

Gempa berkekuatan 8,9 skala Richter yang mengguncang Jepang pada Jumat (11/3) ternyata tidak mampu merusak mental masyarakat Jepang.  Meski bencana terburuk paska Perang Dunia II ini mengakibatkan kelangkaan makanan dan listrik, tidak seorang pun warga yang berhak mengeluh atas kondisi yang ada.  Masyarakat Jepang dengan penuh kesadaran berbaris rapi di depan toko-toko untuk mengantri jatah makanan.  Warga hanya diperbolehkan membeli 10 produk makanan atau minuman.  Namun tidak ada yang curang, tidak ada penjarahan. More

Sepatu dan Kesenjangan Ekonomi

Ba’da Ashr, saya mencari sepatuku yang tadi  saya taruh di depan masjid. Tapi setelah saya cari, sepatuku tak kunjung ketemu. Saya mencoba mengingat-ingat, barangkali saya lupa letaknya. Tidak, saya telah memainkan rekaman ingatanku sebelum masuk masjid. Tidak ada keraguan, saya kehilangan sepatu yang baru genap sebulan kubeli itu. Sepatu pakaian dinas harianku hanya satu pasang. Allahumma ajirniy fii mushiibaty, wa akhlif Lii Khairan Minhaa” (SHahih Muslim)
(Wahai Allah Berilah saya pahala dari kehilangan ini dan gantikan untuk saya dengan yang lebih baik darinya” . Alhamdulillah, bentar lagi jam kerja berakhir, besok dan lusa libur. Jadi saya tidak terlalu khawatir untuk segera mencari penggantinya.

Saya berpikir, akan diapakan sepatu itu oleh pencuri? Padahal harganya tidak terlalu mahal. Kalau ia seorang Bapak, barangkali anaknya butuh biaya untuk beli buku. Jika pencurinya anak-anak, mungkin hasil penjualan sepatu itu untuk biaya berobat ibunya yang sedang sakit. Kalau itu alasannya, saya rela. Namun, akan lebih baik jika ia mau menemui saya dan menukar sepatu itu dengan harga barunya. Karena di tukang loak, sepatuku paling hanya dihargai setengah dari harga baru. Bukan masalah sepatunya. Tapi kasihan saja mereka yang mencontoh Robin Hood atau Jaka Tingkir yang mencuri untuk kebaikan. Berbuat baik hendaknya disertai cara yang benar, bukan membenarkan caranya.

Tapi memang, tindak kriminalitas khususnya yang ber’genre’ pencurian, perampasan, atau perampokan cenderung berada di atas saat bulan ramadhan sampai menjelang Hari Raya. Barangkali penjahat-penjahat itu mau berlebaran dengan hasil perbuatan tersebut karena memang tidak memiliki uang. Sungguh disayangkan. Barangkali ini ada kaitannya dengan angka koefisien gini yang menunjukkan kesenjangan sosial di Indonesia masih lebar.

Koefisien Gini adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan agregat (secara keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna). Kita tentu miris ketika media menyiarkan pembagian zakat disertai kerusuhan. Adu mulut dan baku bantam kadang tak terelakkan. Lalu orang-orang saling menyalahkan. Ini salahnya pemberi zakat yang kurang profesional, ini salah pemerintah yang tidak peduli. Maka orang yang suka menyalahkan seperti itu hendaknya ditanyai, “Apakah Anda sudah membayar zakat?”

Zakat dalam makro ekonomi mempunyai kedudukan unik dan penting. Jika dalam sudut pandang teori ekonomi konvensional, tingkat kesejahteraan masyarakat bisa ditingkatkan dengan menaikkan laju pertumbuhan ekonomi. Pertambahan jumlah produksi barang dan jasa diharapkan mampu menyerap tenaga kerja. Kemudian tenaga kerja ini memiliki penghasilan untuk berbelanja. Meski demikian, tidak semua penghasilan dibelanjakan. Mereka tentu memiliki tabungan. Meski hal ini positif, ada masalah lain yang timbul. Ada sekelompok masyarakat sedikit penghasilannya, bahkan tidak memiliki penghasilan sama sekali. Akhirnya mereka tidak dapat berpartisipasi dalam memutar roda ekonomi.

Meski pertumbuhan ekonomi tinggi, bukan berarti kesejahteraan merata. Naiknya laju pertumbuhan barang dan jasa, tak selalu dinikmati oleh semua orang. Laju pertumbuhan ekonomi kadang atau bahkan seringkali dinikmati oleh segelintir orang. Sebab lain adalah pertumbuhan industri yang bersifat padat modal bukan padat karya, jadi pengangguran tidak terserap optimal. Teori supply makes demand terbukti menimbulkan great depression di amerika serikat era 1930-an. Akibatnya banyak perusahaan rugi karena produknya tak laku. Akibat terburuknya adalah pengangguran meningkat.

Barang-barang yang tidak laku tersebut mubazir. Padahal para dhuafa banyak yang membutuhkannya. Apa daya mereka tidak memiliki uang untuk mendapatkannya. Itulah mengapa zakat mal memiliki kedudukan yang unik dan penting. Tarif zakat 2,5 persen per tahun saya yakin adalah angka yang pas, tidak terlalu berat bagi pembayar zakat dan tidak terlalu sedikit bagi penerima zakat. Zakat yang diserahkan secara tunai tersebut membuat para dhuafa dan mustahiq yang lain (8 asnaf) dapat meningkatkan purchasing power (daya beli) untuk menggerakkan perekonomian agar lebih merata dan berkesinambungan.

Sengkarut PP No. 14 Tahun 2010, Kemanakah Arah Pendidikan Kedinasan?

Pada 22 Januari 2010 pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.14 Tahun 2010 tentang Pendidikan Kedinasan. PP ini merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan Kedinasan telah mewarnai dunia pendidikan tanah air sejak lama. Latar belakang adanya pendidikan kedinasan ini adalah kebutuhan pegawai kementerian/lembaga akan pegawai yang berkompeten sesuai tugas dan fungsinya masing-masing. Kementerian/Lembaga menyelenggarakan pendidikan tinggi kedinasan yang diantaranya adalah mendirikan perguruan tinggi kedinasan. Perguruan tinggi kedinasan ini mengambil calon mahasiswa/tarunanya dari lulusan sekolah menengah atas atau yang sederajat.

PTK dari dulu hingga sekarang telah menjadi primadona karena selain bebas dari biaya pendidikan, lagipula kesempatan kerja telah siap menerima alumni dari PTK-PTK dengan status sebagai pegawai negeri sipil (PNS) atau calon pegawai negeri (CPNS) sungguh menggiurkan. Hal ini dapat kita ketahui dari animo masyarakat terhadap penerimaan mahasiswa baru di PTK-PTK yang relatif tinggi dibanding dengan perguruan tinggi negeri maupun swasta. Bahkan seringkali jika seorang calon mahasiswa diterima di beberapa perguruan tinggi dan salah satunya adalah perguruan tinggi kedinasan, maka biasanya PTK-lah yang menjadi pilihan. Lalu kemanakah arah kebijakan pemerintah terhadap eksistensi PTK-PTK tersebut dengan adanya PP No.14 tahun 2010 tentang Perguruan Tinggi Kedinasan?

Pada umumnya, Jenjang pendidikan pada perguruan tinggi kedinasan baru pada sampai tingkat program diploma (prodi). Boleh dikatakan sampai saat ini pendidikan kedinasan yang memberikan pendidikan sampai sarjana (S-1) meski beberapa PTK telah menyelenggarakan prodi IV (DIV) yang disamakan tingkatnya dengan S-1. Akan tetapi dalam peraturan ini disebutkan bahwa “pendidikan kedinasan program pendidikan profesi setelah program sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV) dapat diselenggarakan di dalam dan/atau di luar satuan pendidikan yang ada pada Kementerian, kementerian lain, atau LPNK terkait, baikpada jalur pendidikan formal maupun pada jalur pendidikan non formal (pasal 5 ayat 1) PP No 14 tahun 2010”. Dengan demikian, dari definisi ini saja, eksistensi PTK secara implisit tidak diakui.

Hal ini dapat menimbulkan ketidakharmonisan antara sistem pendidikan yang sekarang eksis dan sistem yang baru apalagi para pemangku kepentingan merasa sama sekali tidak diikutsertakan dalam merumuskan peraturan ini. Eksistensi perguruan tinggi kedinasan yang sekarang ada pun seperti Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS), Akademi Militer (Akmil), dan Akademi Kepolisian (AKPOL) dan perguruan tinggi kedinasan lain sedang terancam eksistensinya. Hal perlu dipertanyakan adalah apakah pembentukan perguruan tinggi kedinasan seperti yang disebutkan tadi menjadi badan hukum pendidikan akan merubah sistem pendidikan kedinasan yang ada? Misalnya apakah lulusan sekolah menengah atas masih dapat mengenyam pendidikan tinggi dengan gratis. Lima puluh persen ke atas mahasiswa PTK adalah golongan masyarakat menengah ke bawah.

Arah kebijakan dalam peraturan ini tidak berimbang karena yang dimaksud pendidikan kedinasan di sini seperti pelatihan kompetensi bagi pegawai negeri maupun calon pegawai negeri adalah seperti program pendidikan dan latihan (diklat) yang sekarang ini dikenal. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan pegawai negeri/calon pegawai negeri yang tidak sarjana atau telah lulus D-IV? apakah mereka tidak memperoleh hak untuk mendapatkan pendidikan kedinasan. Sedangkan kita ketahui pegawai negeri di suatu kementerian/lembaga tidak melulu berisi lulusan sarjana atau sederajat. PP ini ‘menawarkan’ Alternatif-alternatif perubahan status dan bentuk pendidikan kedinasan yang terbentuk dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tetap saja, jika dipandang keseluruhan, alternatif-alternatif ini cenderung menekan keberadaan PTK.

Anggapan yang menyatakan bahwa PTK menghamburkan uang negara tidak beralasan, pasalnya peserta didik PTK sudah diberi keterampilan teknis yang sesuai dengan tugas yang akan mereka hadapi saat mereka bekerja nanti. Jadi tidak perlu harus ada diklat lagi karena saat lulus mereka telah siap pakai. Selain itu, anggapan lain bahwa para lulusan PTK memiliki paradigma dilayani daripada melayani sama sekali tidak memiliki dasar. Justru dengan pendidikan di PTK mereka telah dikenalkan dengan budaya birokrasi sesuai dengan good governance. Dengan mendapat beasiswa dengan kuliah di PTK membuat para peserta didik memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan pelayan yang terbaik kepada masyarakat. Jika anggapan-anggapan itu berasal dari PTN maupun PTS rasanya cukup berasalan karena PTK telah menggerus marketshare PTN maupun PTS karena kelebihan-kelebihan yang dimilikinya.

Sehingga meskipun PP ini telah diberlakukan, ada beberapa hal yang hendaknya harus diperhatikan pemerintah yaitu:
1. Sekolah tinggi kedinasan merupakan jenjang pendidikan tinggi alternatif bagi lulusan sekolah menengah atas yang tidak atau kurang mampu karena pada umumnya sekolah kedinasan gratis atau berbiaya rendah. Apalagi dengan ironi semakin mahalnya biaya kuliah di perguruan tinggi negeri saat anggaran pendidikan telah memperoleh porsi anggaran terbesar diantara kementerian/lembaga lain;
2. Kementerian/ lembaga sangat membutuhkan fresh graduate yang memiliki kompetensi teknis sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian/ lembaga yang bersangkutan.  Jika jenjang pendidikan kedinasan masih menunggu lulusan sarjana atau DIV, maka kementerian/lembaga harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk mendidik mereka lagi. Waktu tunggu kementerian/lembaga menjadi lebih lama sedangkan kebutuhan untuk mengisi formasi yang ada mendesak. Jelas-jelas ini tidak efisien.
3. Pendidikan kedinasan kembali ke tujuan awal yakni memberikan pendidikan sesuai dengan kharakreristik tugas dan fungsi kementerian/lembaga yang tidak atau belum dapat diselenggarakan oleh perguruan tinggi negeri atau swasta. Dengan demikian efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan tinggi kedinasan dapat terjaga atau bahkan ditingkatkan;
4. Kementerian/lembaga lebih dapat menyesuaikan kurikulum dan sistem pendidikan kedinasan sesuai dinamikanya karena lebih mudah dan cepat dapat memperoleh informasi. Terlebih dengan tengah bergulirnya program reformasi birokrasi, dinamika tersebut akan mengalami percepatan yang cukup tinggi;
5. Penyelenggara pendidikan kedinasan bagi sekolah tinggi kedinasan tetap pada kementerian negara/lembaga dengan pengawasan dan pembinaannya di bawah Kementerian Pendidikan Nasional c.q. Ditjen Pendidikan Tinggi. Dengan ini, peran Kementerian Pendidikan Nasional tidak dinafikan;
6. Perguruan tinggi kedinasan harus diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan tinggi dan lebih dibukanya peluang bagi alumni PTK untuk melanjutkan jenjang pendidikannya ke perguruan tinggi non kedinasan. Karena sekarang ini masih ada perbedaan pandangan dari perguruan tinggi non kedinasan ketika menerima alumni dari PTK;
7. Pemerintah perlu membuat peraturan turunan dari PP No.14 Tahun 2010 tentang Perguruan Tinggi Kedinasan, khususnya yang mengatur eksistensi PTK-PTK yang ada. Peraturan turunan tersebut diharapkan mampu memperjelas dan mempermudah implementasi PP tersebut.
8. Jika hal-hal tersebut diatas tidak dapat diakomodir maka PP ini harap ditinjau kembali dengan melibatkan seluruh stakeholders (pemangku kepentingan) yang ada. Pemerintah dan petinggi perguruan tinggi kedinasan perlu duduk bersama untuk meninjau kembali PP tersebut dalam menemukan win-win solution.

Previous Older Entries