Pinjaman Indonesia terdiri dari pinjaman luar negeri dan pinjaman dalam negeri. selain itu dalam penerimaan pembiayaan ada hibah. Kementerian Keuangan Republik Indonesia mencatat jumlah utang Indonesia hingga tanggal 31 Desember 2010 tahun lalu mencapai Rp 1.699 Trilliun (per 30 Desember 2010). Jumlah itu terdiri dari 612 Triliun dalam bentuk pinjaman luar negeri dan 1087 Triliun dalam bentuk pinjaman. Jika dilihat dari jumlah nominal, jumlah ini sangat besar. Meski semikian, sejak 2000-2010 rasio utang Indonesia semakin rasio utang Indonesia terhadap PDB semakin menurun (lihat tabel). Posisi terakhir yakni per 30 September 2010, rasio utang Indonesia terhadap PDB telah mencapai 27%.
Hal tersebut menunjukkan kemampuan Indonesia dalam membayar utang luar negeri meningkat. Selain itu rasio utang Indonesia terhadap PDB merupakan amanat UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 12 ayat 3 berserta penjelasannya dan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2004 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan APBD Serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah DaerahJumlah kumulatif utang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dibatasi tidak melebihi 60% dari GDP tahun yang bersangkutan.
Tambahan utang 2004-2008 menghasilkan tambahan PDB yang jauh lebih besar, sehingga rasio utang menurun tajam dari 57% akhir 2004 dan diproyeksikan menjadi sekitar 32% akhir 2009 (realisasi 28% pada akhir 2009) atau lebih baik dari sebelum krisis 1997 sekitar 38%.
Sejak 10 tahun terakhir tren sumber pembiayaan dari Surat Berharga Negara semakin mendominasi. Penerimaan dari dalam negeri tersebut dari penerbitan Surat Berharga Negara yang terdiri dari Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang juga dikenal dengan istilah sukuk negara. Berdasarkan data dari Laporan Realisasi Anggaran TA 2009 (audited), realisasi penerimaan hibah sebesar 1,6 triliun.
Kenaikan Pinjaman Luar Negeri, terutama karena volatilitas nilai tukar Rupiah terhadap berbagai denominasi mata uang dalam Pinjaman Luar Negeri. Naiknya porsi pembiayaan dalam negeri ini. Tujuan pemerintah adalah untuk mengurangi ketergantungan asing dari pencarian sumber pembiayaan sekaligus memperkuat pasar modal domestik.
Pengelolaan utang dan hibah pemerintah saat ini lebih baik dari sebelum. Tentu saja hal itu tidak terlepas dari adanya reformasi keuangan negara. Pemisahan fungsi pengelolaan utang dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan merupakan langkah untuk mewujudkan best practices dalam manajemen utang pemerintah. Meski demikian dalam penarikan pinjaman dan hibah ada beberapa masalah. Masalah tersebut adalah sebagai berikut.
1. Permasalahan Hukum dalam Isi Perjanjian
Para negosiator pemerintah cenderung tidak kritis terhadap isi perjanjian penarikan pinjaman luar negeri. Kreditor menganggap Indonesia di posisi yang lemah. Posisi tawar Indonesia yang lemah ini menyebabkan beberapa ketentuan seakan-akan taken for granted atau dianggap standard. Padahal banyak diantaranya yang merugikan Indonesia. Sebagai contoh adanya comitment fee. comitment fee seharusnya bisa dinegosisaikan baik jumlahnya maupun skema pembayarannya. Terlebih dengan tren kurang optimalnya penyerapan anggaran yang mengakibatkan pemerintah harus membayar sejumlah uang meski belum ada penarikan (disbursment) dana pinjaman.
Selama ini ada tiga pihak yang menjadi kreditor bagi Indonesia. Kreditor Indonesia pemerintah suatu negara (bilateral), lembaga keuangan internasional (multilateral), dan bank komersial dari negara yang meminjamkan. Dalam penyaluran pinjaman, bisa saja debitor dalam posisi yang lemah. Pertama, kreditor membutuhkan debitor sebagai ladang investasi atas kelebihan dana yang dimiliki kreditor. Kedua, merupakan cara ‘terselubung’ untuk menggerakkan ekonomi nasional kreditor.
Salah satu strategi mereka dalam bentuk tied loan (pinjaman mengikat). Kebanyakan dengan tied loan negara kreditur mensyaratkan agar Indonesia menggunakan barang dan jasa dari negaranya. Alasan ketiga adalah, adanya agenda tersembunyi bagi negara kreditor untuk melakukan intervensi kedaulatan negara kreditur salah satunya dengan pemberian utang. Meski demikian, dalam manajemen utang, sesuai dengan arahan peraturan perundang-undangan, Indoneseia memiliki prinsip bahwa pinjaman luar negeri harus bebas dari intervensi politik.
Pemerintah Indonesia bisa menyampaikan berbagai usulan, seperti pembayaran comitment fee tidak ada selama dalam waktu 6 bulan pemerintah Indonesia tidak ada pemberitahuan pembayaran. Selain commitment fee, biaya front fee seharusnya bisa ditawar.
Dalam penyelesaian sengketa, pada perjanjian sering disebutkan bahwa sengketa harus dilakukan di dnegera pemberi pinjaman. Padahal, negosiator Indonesia bisa memberikan pertimbangan bahwa penyelesaian sengketa agar dilakukan di Indonesia atau setidak-tidaknya negara yang netral. Hal ini karena jika Indonesia menyelesaikan perkara sengketa pinjaman di negara kreditur, peluang untuk menang lebih kecil daripada menyelesaikannya di negara netral
2. Proporsi Pinjaman Proyek cukup Besar
Realisasi pinjaman proyek per 30 September 2010 sebesar 58.0% dari pagu APBN-P 2010 atau sebesar 24.56 Triliun Rupiah. Berdasarkan pagu, persentase pinjaman proyek mencapai 45,42%. Pinjaman proyek merupakan pinjaman yang Untuk pembiayaan proyek infrastruktur di berbagai sektor (perhubungan, energi, dll); proyek-proyek dalam rangka pengentasan kemiskinan (PNPM). Pinjaman ini sifatnya tidak fleksibel karena hanya bisa digunakan untuk membiayak proyek tertentu. Berbeda dengan pinjaman program yang bisa digunakan untuk mendanai berbagai kegiatan yang diperuntukkan bagi dukungan anggaran dan pencairannya dikaitkan dengan pemenuhan Policy Matrix dibidang kegiatan untuk mencapai Millenium Development Goals-MDGs (pengentasan kemiskinan, pendidikan, pemberantasan korupsi), pemberdayaan masyarakat, policy terkait dengan climate change, dan insfrastruktur.
Sifat dari pinjaman proyek ini kebanyakan adalah soft loan atau berbunga rendah. Meski demikian, ada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan pinjaman itu. Antara lain adalah menggunakan barang dan tenaga ahli dari negara kreditur. Hal ini secara tersamar merupakan bentuk penyusupan kepentingan ekonomi. Dengan adanya barang dan tenaga ahli dari kreditur, maka ekspor negara tersebut akan meningkat. Jadi dengan adanya pinjaman proyek ini, negara kreditur memiliki keuntungan ganda, pertama adalah bunga utang. Yang kedua adalah pertumbuhan ekonomi dari ekspor.
Jika ingin melihat seberapa ruginya dengan pinjaman lunak dari pinjaman proyek ini adalah pinjaman dari Jepang dengan skim Official Development Assistant (ODA) Jepang yang sebagian besar mengikat (tied loan). Proyek-proyek yang didanai oleh ODA mewajibkan Indonesia untuk menggunakan ahli, sumber daya manusia, teknologi dan bahan baku yang berasal dari pemerintah atau perusahaan Jepang, sehingga diartikan bahwa pinjaman ODA ke Indonesia sebetulnya hanya bermanfaat bagi Jepang.
Sekarang ini 30-40 Utang luar negeri kita berupa tied loan. Contoh lain adalah pinjaman dari Cina. China akan membantu membiayai empat proyek di Indonesia dengan bentuk pinjaman berbunga rendah dan bersifat mengikat [tied loan). Keempat proyek tersebut adalah Jalan tol Medan-Kua-lanamu, Jembatan Tavan di Kalimatan Barat, Jalan tol Cisumdawu (Cileunyi, Sumedang, Dawuan), dan Jembatan Teluk Kendari. Cina ingin sebanyak mungkin pemborong cina bisa masuk.
3. Mahalnya Cost Borrowing Pinjaman Luar Negeri
Banyak yang mengira bahwa pinjaman luar negeri lebih murah daripada pinjaman dalam negeri yang semuanya didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN). SBN mahal karena harus ‘bersaing’ dengan obligasi swasta. Kupun sukuk ritel Kupon SR001 sebesar 12 persen, termasuk sweetener (pemanis tambahan untuk menarik investor) sebesar 30 basis poin di atas yield surat utang negara (SUN) yang jatuh tempo tiga tahun.
Beberapa komponen biaya dari pinjaman luar negeri antara lain:
a. Bunga
Suku bunga bisa ditetapkan tetap (fixed rate) dan bisa juga ditetapkan mengambang (floating rate). Suku bunga mengambang biasanya mengacu kepada suku bunga internasional ditambah margin tertentu (lending spread). Bank Pembangunan Asia (ADB) mengurangi biaya pinjaman berbasis LIBOR bagi peminjam, baik pemerintah maupun peminjam yang mendapat garansi pemerintah, untuk negosiasi pinjaman pada dan setelah 1 Oktober 2007. Sejak 2009, Indonesia kemungkinan besar tidak akan mendapat lagi alokasi pinjaman murah (soft loan) dari dua lembaga donor internasional, yaitu Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) pada 2009 karena perekonomian yang semakin baik dan status negara berpendapatan menengah yang kini disandang.
b. Up-front fee
Jenis fee ini hanya diberlakukan oleh World Bank dan ADB serta fasilitas kredit ekspor. Fee ini ditarik ketika kontrak pinjam-meminjam berlaku efektif. World Bank menetapkan fee sebesar 1% dari nilai pinjaman, sedangkan ADB adalah sekitar 0,5%. Biaya inilah yang harusnya diperjuangkan untuk turun. Karena dalam jumlah besar up front fee jumlahnya sangat significant. Seakan-akan, up front fee adalah tambahan bunga dengan nama lain.
c. Commitment fee
Jenis fee ini diberlakukan oleh World Bank dan ADB serta kreditor lain bilateral dan fasilitas kredit ekspor sebagai suatu bentuk biaya terhadap pinjaman yang belum dicairkan (undisbursed loan). World Bank mengenakan commitment fee sebesar 0,75% atas total undisbursed loan. ADB mengenakan fee ini sebesar 0,75% atas selisih antara target disbursement dengan realisasi penarikan.
d. Insurance premium
Premi asuransi ini hanya dikenakan atas pengadaan barang melalui fasilitas kredit ekspor. Besarnya premi tergantung pada dua hal yaitu tariff yang ditetapkan kreditor dan country risk. Semakin besar indeks country risk, semakin besar pula premi dikenakan. Kedepannya, kredit ekspor ini akan ditekan sehinggan premi asuransi semakin sedikit. Organisastion For Economic Co-operation and Development (OECD) menurunkan level country risk classification (CRC) untuk Indonesia pada April 2010. Indonesia yang sebelumnya berada dalam rentang 5, naik peringkat menjadi 4 dari rentang 0-7 (berisiko tinggi).
e. Depresiasi
Depresiasi terhadap pinjaman luar negeri sangat terasa saat krisis moneter era 1997/1998. Pada waktu itu rupiah naik hampir tujuh kali lipat terhadap dolar amerika. Dengan memperhitungkan laju depresiasi rupiah terhadap mata uang lainnya, dapat dibandingkan biaya utang luar negeri dengan pinjaman domestik. Resiko nilai tukar barangkali merupakan komponen biaya yang selalu luput dari perhitungan biaya pinjaman luar negeri . Padahal, depresiasi merupakan komponen biaya yang terbesar. Tingkat depresiasi rupiah sangat tergantung pada jenis valuta yang dijadikan denominasi. Pinjaman Pemerintah tidak hanya berdenominasi rupiah, tapi juga dalam bentuk euro, yen, dan poundsterling.
4. Keharusan Rupiah Murni Pendamping untuk Pinjaman Luar Negeri dan Hibah
Pada akhir 2010 Bank Pembangunan Asia (ADB) setiap tahunnya menyediakan bantuan pinjaman sebesar US$880 juta untuk mendanai pembangunan di Indonesia. Pinjaman tersebut ditujukan untuk pembangkit tenaga listrik. Salah satu proyek tersebut adalah pembangunan transmisi listrik Sarawak-Kalimantan. Listrik yang melimpah di Malaysia akan digunakan di Indonesia. ntuk merealisasikan proyek tersebut, setidaknya dibutuhkan dana sebesar US$200 juta, di mana ADB dan Agence Francaise de developpement (AFD) berniat memberikan pinjaman masing-masing US$50 juta. Sementara, pemerintah menyediakan rupiah pendamping yang berasal dari APBN sebesar US$100 juta. Jumlah tersebut cukup besar.
Dalam penyaluran hibah, ternyata juga ada persyaratan harus menyediakan rupiah pendamping. Kementerian/Lembaga harus menyisihkan ‘sebagian’ dananya dulu untuk proyek-proyek yang didanai dari hibah tersebut. Akibatnya akan ada pengurangan bagi program/kegiatan lain. Ini adalah trade off antara kegiatan dari hibah atau kegiatan yang benar-benar sudah direncakan jauh-jauh hari sebelumnya. Hibah bagi Indonesia sekarang ini tidak lagi dalam bentuk rupiah murni/tunai, tapi dalam bentuk proyek atau bantuan teknis. Baik pinjaman dan hibah ada yang memerlukan rupiah murni pendamping. Meski tujuannya untuk menjamin terlaksananya kegiatan, tapi sedikit banyak menyulitkan APBN.
5. Penyerapan Pinjaman Luar Negeri Tidak Optimal
Dalam pengadaan pinjaman. Pinjaman luar negeri sampai yang telah dibentuk komitmennya tidak seluruhnya terserap. Hal ini memberatkan pemerintah dalam membayar komitmen fee. Sampai 30 September 2010 pinjaman yang dicairkan baru 46,7%. Terdiri dari 37,2% pinjaman program dan 46,7 % pinjaman proyek. Penyebab kurang terserapnya pinjaman ini antara lain karena Utang yang tidak terserap pada umumnya terhambat oleh kebijakan di dalam negeri, baik dari sisi peraturan perundang-undangan maupun kebijakan lainnya. Selain itu penyebab lainnya adalah setiap proyek ada tahapan-tahapan, dan setiap proses ini harus dimintakan izin dari lender. Nanti lender mengeluarkan NOL (No Objection Note/Nota Tidak Menolak), baru proyek bisa berjalan. Kurangnya penyerapan pinjaman ini juga terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Meski demikian, tetap saja pemerintah melakukan komitmen kepada kreditur dalam jumlah yang cukup besar.
6. Akuntabitas Subsidiary Loan Agreement (SLA) Kurang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan bahwa utang/pinjaman pemerintah dapat bersumber dari dalam negeri dan luar negeri. Utang/pinjaman tersebut oleh pemerintah dapat digunakan untuk membiayai keperluan pemerintah pusat dan/atau diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah/BUMN yang dimuat dalam Undang-Undang APBN. Berdasarkan laporan BPK sejak 2007-2009, BPK selalu memberikan opini disclaimer (tidak memberikan pendapat) untuk BA. 999.04 (penerusan pinjaman/subsidiary loan agreement). Alasan BPK memberikan opini tersebut adalah Temuan itu lebih pada kelemahan sistem pengendalian internal. Pencatatan realisasi Penerusan Pinjaman yang dilaporkan dalam laporan Realisasi Anggaran BA.999.04 tahun 2009 tidak berdasarkan dokumen sumber yang valid. Pada pertengahan Mei 2009, KPK menemukan pinjaman dari SLA yang macet sebesar 15 triliun rupiah.
Debitur dari penerusan pinjaman itu adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diantaranya PT PLN dan BUMN bidang perkapalan, yaitu PT Pal Indonesia, PT Industri Kapal Indonesia (IKI), dan PT Pelni. Utang tersebut terdiri dari tersebut terdiri dari mata uang lokal Rp 7,37 triliun serta mata uang asing sebesar 715,09 juta dolar AS, 48,60 juta DEM, dan 16,31 juta euro.